Selasa, 14 Desember 2010

pegadaian syariah

PEGADAIAN SYARIAH

I. Pendahuluan
Dalam aplikasinya gadai (rahn) telah terlembaga sebagai suatu lembaga keuangan yang dinamakan pegadaian. Pegadaian ini dalam perspektif ekonomi merupakan salah satu alternatif pendanaan yang sangat efektif karena tidak memerlukan proses dan persyaratan yang rumit. Tugas pokok dari pegadaian ini untuk memberikan pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan.
Pegadaian adalah badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana kepada masyarakat atas dasar hukum gadai.
Dari konsep operasionalnya, pegadaian mempunyai fungsi sosial yang sangat besar, karena pada umumnya orang-orang yang datang ke pegadaian adalah mereka yang secara ekonomi sangat kekurangan dan biasanya pinjaman yang dibutuhkan adalah pinjaman yang bersifat konsumtif dan mendesak. Dalam implementasinya pegadaian merupakan lembaga keuangan komersil-produktif.
Untuk mengakomodir kepentingan umat Islam di Indonesia yang ingin terbebas dari belenggu riba dalam bermuamalah, sekarang ini telah tumbuh dan berkembang lembaga keuangan yang dalam transaksinya dengan metode gadai (rahn) berdasarkan hukum Islam yang dikenal dengan Pegadaian Syari'ah baik yang dikelola oleh lembaga swasta maupun lembaga pemerintah.
II. Pembahasan
A. Pengertian gadai
a. Gadai menurut umum
Pegadaian adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Seseorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat melunasi kewajiban pada saat jatuh tempo.
Secara umum pengertian usaha gadai adalah kegiatan menjaminkan barang-barang berharga kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan lembaga gadai.
b. Gadai Menurut Syari’at Islam
Gadai (Rahn) secara etimologis (pendekatan kebahasaan/lughawi) sama pengertiannya dengan (tsubut, dawam, habs) yang berarti tetap, kekal, tahanan. Gadai (rahn) menurut pengertian terminologi (istilah) terdapat beberapa pendapat, diantaranya menurut Sayyid Sabiq, Rahn adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan.
Dengan demikian gadai merupakan akad atau perjanjian hutang piutang dengan menjadikan barang jaminan sebagai kepercayaan/penguat dari hutang dan orang yang memberikan pinjaman berhak menjual/melelang barang yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya (jatuh tempo).
Rahn (gadai) berupa benda yang dapat dijadikan kepercayaan/jaminan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari harganya apabila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari orang yang berpiutang.
Gadai (rahn) adalah sebagai jaminan bukan produk dan semata untuk kepentingan sosial, bukan untuk kepentingan bisnis, jual beli atau bermitra, sehingga uang hasil gadai ini tidak boleh dipakai untuk investasi.
B. Sejarah Pegadaian syariah
Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Berkat Rahmat Alloh SWT dan setelah melalui kajian panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah.
Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam. Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor Cabang Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah ( ULGS) Cabang Dewi Sartika di bulan Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003. Masih di tahun yang sama pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi Pegadaian syariah.
C. Landasan Hukum
Landasan konsep pegadaian syariah juga mengacu kepada syariah Islam yang bersumber dari Al Quran dan Hadist Nabi SAW. Adapun dasar hukum yang dipakai adalah :
Surat Albaqarah ayat 283
Artinya :
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Hadits Rasul Saw yang diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah ra.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ.
“Dari Aisyah berkata: Rasulullah Saw membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikannya dengan besi”.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ مَشَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخُبْزِ شَعِيرٍ وَإِهَالَةٍ سَنِخَةٍ وَلَقَدْ رَهَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِيٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لِأَهْلِهِ.
“Dari Anas ra bahwasanya ia berjalan menuju Nabi Saw dengan roti dari gandum dan sungguh Rasulullah Saw telah menaguhkan baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang Yahudi”. (HR.Anas r.a).
Landasan hukum berikutnya adalah ijma’ ulama atas hukum mubah (boleh) perjanjian gadai. Adapun menganai prinsip rahn (gadai) telah memiliki fatwa dari Dewan Syari`ah Nasional Majelis Ulama Indonesia yaitu fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas
D. Rukun dan Syarat Gadai
Secara umum syarat sah dan rukun dalam menjalan transaksi gadai adalah sebagai berikut :
a. Rukun Gadai
• Ada ijab dan qobul (shighat)
• Terdapat orang yang berakad yang mengadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin)
• Ada jaminan (marhun) berupa barang / harta
• Utang (marhun bih)
b. Syarat sah gadai
• Shighat
• Orang yang berakal
• Ada barang yang dijadikan pinjaman
• Utang (marhun bih)
c. Hak dan kewajiban yang berakad
• Hak penerima gadai (murtahin)
- Apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo, murtahin berhak untuk menjual marhun.
- Untuk menjaga keselamatan marhun, pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang dikeluarkan
- Pemegang gadai berhak menahan barang gadai dari rahin, selama pinjaman belum dilunasi.
• Kewajiban penerima gadai
- Apabila terjadi sesuatu (hilang ataupun cacat) terhadap marhun akibat dari kelalaian, maka marhun harus bertanggung jawab
- Tidak boleh menggunakan marhun untuk kepentingan pribadi
- Sebelum diadakan pelelengan marhun, harus ada pemberitahuan kepada gadai.
• Hak pemberi gadai (rahin)
- Setelah pelunasan pinjaman, rahin berhak atas barang gadai yang diserahkan kepada murtahin
- Apabila terjadi kerusakan atau hilangnya barang gadai akibat kelalaian murtahin, rahin menuntut ganti rugi atas marhun.
- Setelah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya, rahin berhak menerima sisa hasil penjualan marhun.
- Apabila diketahui terdapat penyalahgunaan marhun oleh murtahin, maka rahin berhak untuk meminta marhunnya kembali
• Kewajiban pemberi gadai (rahin)
- melunasi penjaman yang telah diterima serta biaya-biaya yang ada dalam kurun waktu yang telah ditentukan
- apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan rahin tidak dapat melunasi pinjamannya, maka harus merelakan penjualan atas marhun pemiliknya.
E. Akad perjanjian transaksi gadai
a. Qardul Hasan
Akad ini digunakan nasabah untuk tujuan konsumtif, oleh karena itu nasabah (rahin) akan dikenakan biaya perawatan dan penjagaan barang gadai (marhun) kepada pegadaian (murtahin).
b. Mudharabah
Akad yang diberikan bagi nasabah yang ingin memperbesar modal usahanya atau pembiayaan lain yang bersifat produktif.
c. Ba’I al muqayadah
Akad ini diberikan kepada nasabah untuk keperluan yang bersifat produktif. Seperti pembelian alat kantor, modal kerja. Dalam hal ini murtahin juga dapat menggunakan akad jual beli untuk barang atau modal kerja yang diingginkan oleh rahin. Barang gadai adalah barang yang dimanfaatkan oleh rahin maupun murtahin.
d. Ijarah
Objek dari akad ini pertukaran manfaat tertentu.bentuknya adalah murtahin menyewakan tempat penyimpanan barang.
F. Mekanisme Operasional pegadaian syariah.
Mekanisme operasional pegadaian syariah merupakan implementasi dari konsep dasar rahn yang telah ditetapkan oleh para fuqaha. Secara teknis, pelaksanaan atau kegiatan pegadaian syari'ah adalah :
- Jenis Barang yang Digadaikan
a) Perhiasan : emas, perak, mutiara intan dan sejenisnya.
b) Peralatan rumah tangga, perlengkapan dapur, perlengkapan makan/minum, alat elektronika dan sebagainya.
c) Kendaran bermotor roda dua dan roda empat.
- Biaya
Biaya yang dikenakan dalam pegadaian syariah meliputi biaya administrasi dan biaya penyimpanan barang gadai.
Biaya administrasi meliputi :
1. Biaya riil yang dikeluarkan seperti ATK, perlengkapan dan biaya tenaga kerja.
2. Besarnya ditetapkan berdasarkan Surat Edaran tersendiri.
3. Dipungut dimuka pada saat pinjaman dicairkan.
Adapun besarnya tarif jasa simpanan penggadaian syariah didasarkan pada :
1. Nilai taksiran barang yang digadaikan
2. Jangka waktu gadai ditetapkan 90 hari. Perhitungan tarif jasa simpanan dengan kelipatan 5 hari , dimana satu hari dihitung 5 hari.
3. Tarif jasa simpanan dihitung per 5 hari.
Pada dasarnya nasabah atau orang yang menggadaikan (rahin) dapat melunasi pinjaman kapan saja tanpa harus menunggu jatuh tempo. Tetapi nasabah (rahin) dapat memilih cara pelunasan sekaligus maupun dengan cara mencicil. Jika dalam masa 4 bulan nasabah belum melunasi, maka dengan mengajukan permohonan serta menyelesaikan biaya, nasabah dapat memperpanjang jangka waktu pinjaman selama kurang lebih 4 bulan. Jika dalam jangka waktu yang ditetapkan nasabah tidak mengambil marhun, maka pegadaian syariah akan melakukan pelelangan atau penjualan barang gadai.
III. Kesimpulan
Gadai / rahn adalah suatu hak yang diperoleh oleh orang yang berpiutang atas suatu benda bergerak yang diberikan oleh orang yang berpiutang sebagai suatu jaminan dan barang tersebut bisa dijual/dilelang jika orang yang berpiutang tidak mampu melunasi utangnya pada saat jatuh tempo.
Ada 4 traksaksi dalam akad perjanjian gadai :
1. Qardul hasan
2. Ijarah
3. Ba’I Al Muqayadah
4. Mudharabah


IV. Penutup
Demikianlah makalah yang dapat saya sampaikan semoga dapat memberi manfaat bagi kita semua. Penulis yakin bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan maka dari itu kritik dan saran sangat penulis butuhkan demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Hosen M Nadratuzzaman dan Ali Hasan, Khutbah Jum’at Ekonomi Syari’ah, PKES (Pusat Komunikasi Ekonomi Syari’ah ) .2008
Kasmir, SE., MM. Bank & lembaga keuangan lainnya. Jakarta : Pt. Raja Grafindo Persada, 2005.
Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, juz 3 (Syirkah Maktabah wa Mathbaah Misyathfi al-Baby al-Halby, Cairo, 1960),
Muhammad Firdaus, dkk, Mengatasi Masalah dengan Pegadaian Syariah ( Renaisan, Jakarta, 2005).
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah jilid 3 (Dar al-Kitab al-Arabyt, Beirut,1983)