Selasa, 02 November 2010

Perbedaan Asuransi Syariah dan Konvensional

Perbedaan Asuransi Syariah dan Konvensional
Ada tujuh perbedaan mendasar antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional.

Perbedaan tersebut adalah:
1. Asuransi syari'ah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang betugas mengawasi produk yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. Dewan Pengawas Syariah ini tidak ditemukan dalam asuransi konvensional.
2. Akad yang dilaksanakan pada asuransi syari'ah berdasarkan tolong menolong. Sedangkan asuransi konvensional berdasarkan jual beli
3. Investasi dana pada asuransi syari'ah berdasarkan bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional memakai bunga (riba) sebagai landasan perhitungan investasinya
4. Kepemilikan dana pada asuransi syari'ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Sehingga, perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya.
5. Dalam mekanismenya, asuransi syari'ah tidak mengenal dana hangus seperti yang terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana yang dimasukan dapat diambil kembali, kecuali sebagian dana kecil yang telah diniatkan untuk tabarru'.
6. Pembayaran klaim pada asuransi syari'ah diambil dari dana tabarru' (dana kebajikan) seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana perusahaan.
7. Pembagian keuntungan pada asuransi syari'ah dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. Sedangkan pada asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.

Sistem Asuransi Syariah Miliki Keunggulan
Sistem Asurasi Syariah memiliki perbedaan dan keunggulan lebih bila dibanding sistem asuransi konvensional. Perbedaan dan keunggulannya terdapat pada prosedur penyimpanan dana, operasionalisasi dana asuransi, dan akadnya.

Ketua Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) Muhammad Zubair mengatakan, terdapat perbedaan antara asuransi syariah dan konvensional, yaitu penempatan dana berdasarkan bagi hasil bukan bunga, premi tidak boleh digunakan perusahaan asuransi untuk hal-hal yang melanggar syariat, uang yang diberikan pada klien nasabah dari perusahaan tidak boleh digunakan bila premi yang dibayar klien jatuh tempo, dan bila perusahaan untung, maka keuntungan dipotong dua setengah persen untuk zakat.

"Asuransi syariah unggul dari segi akad. Dalam akad harus jelas karena menentukan sah tidaknya secara syariat. Klien nasabah bisa mengambil akad mudharabah atau tabarru. Asasnya bukan jual beli seperti di asuransi konvensional, tapi tolong menolong," kata Zubair pada Talk Show Islamic Insurance yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Asuransi Syariah (BEMJ AS) Fakultas Syariah dan Hukum, di Teater lt.2, Selasa (1/5).Meski memiliki keunggulan, kata Direktur Utama MAA Life Assurance Syariah Hardy Harahap masih menghadapi sejumlah permasalahan terutama minimnya regulasi yang mengatur sistem asuransi itu. Kini, baru terdapat satu Undang-Undang (UU) yang mengatur secara khusus menyangkut sistem asuransi syariah, yaitu UU Nomor 2 tahun 1992. Kendati demikian, lanjut Hardy, UU itu belum mampu mengakomodasi semua kebutuhan terkait regulasi asuransi syariah.

Hardy mencontohkan, bila terjadi persengketaan antara perusahaan dan klaim nasabah, maka menurut UU itu harus diselesaikan di peradilan syariah. Sementara itu, pemerintah belum menyediakan kelembagaan peradilan syariahnya, peradilan seperti itu baru ada di Aceh. Menghadapi persoalan itu, Hardy meminta pengelola asuransi membuat draf UU yang nanti diajukan ke pemerintah. Upaya itu agar sistem asuransi syariah tidak cacat hukum dan terjaga kemurniannya dari unsur ribawi.

"Asuransi harus dipergunakan demi kemaslahatan umat," kata Hardy. Perundang-undangannya harus segera dilengkapi, agar mempermudah proses birokrasi dan meningkatnya minat kaum Muslimin untuk segera beralih ke asuransi syariah.*

Mengenal Konsep Dasar Asuransi Syariah
Sebagian kalangan Islam beranggapan bahwa asuransi sama dengan menentang qodlo dan qadar atau bertentangan dengan takdir. Pada dasarnya Islam mengakui bahwa kecelakaan, kemalangan dan kematian merupakan takdir Allah. Hal ini tidak dapat ditolak. Hanya saja kita sebagai manusia juga diperintahkan untuk membuat perencanaan untuk menghadapi masa depan. Allah berfirman dalam surat Al Hasyr: 18, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok (masa depan) dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesunguhnya Allah Maha mengetahui apa yang engkau kerjakan”. Jelas sekali dalam ayat ini kita diperintahkan untuk merencanakan apa yang akan kita perbuat untuk masa depan.

Dalam Al Qur’an surat Yusuf :43-49, Allah menggambarkan contoh usaha manusia membentuk sistem proteksi menghadapi kemungkinan yang buruk di masa depan. Secara ringkas, ayat ini bercerita tentang pertanyaan raja Mesir tentang mimpinya kepada Nabi Yusuf. Dimana raja Mesir bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus, dan dia juga melihat tujuh tangkai gandum yang hijau berbuah serta tujuh tangkai yang merah mengering tidak berbuah.

Nabi Yusuf sebagaimana diceritakan dalam surat Yusuf, dalam hal ini menjawab supaya raja dan rakyatnya bertanam tujuh tahun dan dari hasilnya hendaklah disimpan sebagian. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang disimpan untuk menghadapi masa sulit tesebut, kecuali sedikit dari apa yang disimpan.

Sangat jelas dalam ayat ini kita dianjurkan untuk berusaha menjaga kelangsungan kehidupan dengan meproteksi kemungkinan terjadinya kondisi yang buruk. Dan sangat jelas ayat diatas menyatakan bahwa berasurnasi tidak bertentangan dengan takdir, bahkan Allah menganjurkan adanya upaya-upaya menuju kepada perencanaan masa depan dengan sisitem proteksi yang dikenal dalam mekanisme asuransi.

Jadi, jika sistem proteksi atau asuransi dibenarkan, pertanyaan selanjutnya adalah: apakah asuransi yang kita kenal sekarang (asuransi konvensional) telah memenuhi syarat-syarat lain dalam konsep muamalat secara Islami. Dalam mekanisme asuransi konvensional terutama asuransi jiwa, paling tidak ada tiga hal yang masih diharamkan oleh para ulama, yaitu: adanya unsur gharar (ketidak jelasan dana), unsur maisir (judi/ gambling) dan riba (bunga). Ketiga hal ini akan dijelaskan dalam penjelasaan rinci mengenai perbedaan antara asuransi konvensional dan syariah.

Asuransi jiwa syariah dan asuransi jiwa konvensional mempunyai tujuan sama yaitu pengelolaan atau penanggulangan risiko. Perbedaan mendasar antara keduanya adalah cara pengelolaannya pengelolaan risiko asuransi konvensional berupa transfer risiko dari para peserta kepada perusahaan asuransi (risk transfer) sedangkan asuransi jiwa syariah menganut azas tolong menolong dengan membagi risiko diantara peserta asuransi jiwa (risk sharing).

Selain perbedaan cara pengelolaan risiko, ada perbedaan cara mengelola unsur tabungan produk asuransi. Pengelolaan dana pada asuransi jiwa syariah menganut investasi syariah dan terbebas dari unsur ribawi.

Secara rinci perbedaan antara asuransi jiwa syariah dan asuransi jiwa konvensional dapat dilihat pada uraian berikut :

Kontrak atau Akad
Kejelasan kontrak atau akad dalam praktik muamalah menjadi prinsip karena akan menentukan sah atau tidaknya secara syariah. Demikian pula dengan kontrak antara peserta dengan perusahaan asuransi. Asuransi konvensional menerapkan kontrak yang dalam syariah disebut kontrak jual beli (tabaduli).

Dalam kontrak ini harus memenuhi syarat-syarat kontrak jual-beli. Ketidakjelasaan persoalan besarnya premi yang harus dibayarkan karena bergantung terhadap usia peserta yang mana hanya Allah yang tau kapan kita meninggal mengakibatkan asuransi konvensional mengandung apa yang disebut gharar —ketidakjelasaan pada kontrak sehingga mengakibatkan akad pertukaran harta benda dalam asuransi konvensional dalam praktiknya cacat secara hukum. Sehingga dalam asuransi jiwa syariah kontrak yang digunakan bukan kontrak jual beli melainkan kontrak tolong menolong (takafuli). Jadi asuransi jiwa syariah menggunakan apa yang disebut sebagai kontrak tabarru yang dapat diartikan sebagai derma atau sumbangan. Kontrak ini adalah alternatif uang sah dan dibenarkan dalam melepaskan diri dari praktik yang diharamkan pada asuransi konvensional.

Tujuan dari dana tabarru’ ini adalah memberikan dana kebajikan dengan niat ikhlas untuk tujuan saling membantu satu dengan yang lain sesama peserta asuransi syariah apabila diantaranya ada yang terkena musibah. Oleh karenanya dana tabarru’ disimpan dalam satu rekening khsusus, dimana bila terjadi risiko, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening dana tabarru’ yang sudah diniatkan oleh semua peserta untuk kepentingan tolong menolong.

Kontrak Al-Mudharabah
Penjelasan di atas, mengenai kontrak tabarru’ merupakan hibah yang dialokasikan bila terjadi musibah. Sedangkan unsur di dalam asuransi jiwa bisa juga berupa tabungan. Dalam asuransi jiwa syariah, tabungan atau investasi harus memenuhi syariah.

Dalam hal ini, pola investasi bagi hasil adalah cirinya dimana perusahaan asuransi hanyalah pengelola dana yang terkumpul dari para peserta. Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh (100 persen) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalian si pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

Kontrak bagi hasil disepkati didepan sehingga bila terjadi keuntungan maka pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan kontrak bagi hasilnya adalah 60:40, dimana peserta mendapatkan 60 persen dari keuntungan sedang perusahaan asuransi mendapat 40 persen dari keuntungan.

Dalam kaitannya dengan investasi, yang merupakan salah satu unsur dalam premi asuransi, harus memenuhi syariah Islam dimana tidak mengenal apa yang biasa disebut riba. Semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya dengan mekanisme bunga.

Dengan demikian asuransi konvensional susah untuk menghindari riba. Sedangkan asuransi syariah daolam berinvestasi harus menyimpan dananya ke berbagai investasi berdasarkan syariah Islam dengan sistem al-mudharabah.

Tidak Ada Dana Hangus
Pada asuransi konvensional dikenal dana hangus, dimana peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa jatuh tempo. Begitu pula dengan asuransi jiwa konvensional non-saving (tidak mengandung unsur tabungan) atau asuransi kerugian, jika habis msa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi asuransi yang sudah dibayarkan hangus atau menjadi keuntungan perusahaan asuransi.

Dalam konsep asuransi syariah, mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Peserta yang baru masuk sekalipun karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, maka dana atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil saja yang sudah diniatkan untuk dana tabarru’ yang tidak dapat diambil.
Begitu pula dengan asuransi syariah umum, jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka pihak perusahaan mengembalikan sebagian dari premi tersebut dengan pola bagi hasil, misalkan 60:40 atau 70:30 sesuai dengan kesepakatan kontrak di muka. Dalam hal ini maka sangat mungkin premi yang dibayarkan di awal tahun dapat diambil kembali dan jumlahnya sangat bergantung dengan tingkat investasi pada tahun tersebut.

Manfaat Asuransi Syariah
Asuransi syariah dapat menjadi alternatif pilihan proteksi bagi pemeluk agama Islam yang menginginkan produk yang sesuai dengan hukum Islam. Produk ini juga bisa menjadi pilihan bagi pemeluk agama lain yang memandang konsep syariah adil bagi mereka. Syariah adalah sebuah prinsip atau sistem yang ber-sifat universal dimana dapat dimanfaatkan oleh siapapun juga yang berminat.

Demikianlah sekilas ulasan mengenai asuransi syariah. Semoga ulasan ini menambah wawasan dan pengetahuan anda.

Sejarah Asuransi Syariah di Indonesia
Saat ini, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan jumlah operator asuransi syariah cukup banyak di dunia. Berdasarkan data Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), terdapat 49 pemain asuransi syariah di Indonesia yang telah mendapatkan rekomendasi syariah. Mereka terdiri dari 40 operator asuransi syariah, tiga reasuransi syariah, dan enam broker asuransi dan reasiuransi syariah.

Perkembangan industri asuransi syariah di negeri ini diawali dengan kelahiran asuransi syariah pertama Indonesia pada 1994. Saat itu, PT Syarikat Takaful Indonesia (STI) berdiri pada 24 Februari 1994 yang dimotori oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Departemen Keuangan RI, serta beberapa pengusaha Muslim Indonesia.

Selanjutnya, STI mendirikan dua anak perusahaan. Mereka adalah perusahaan asuransi jiwa syariah bernama PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK) pada 4 Agustus 1994 dan perusahaan asuransi kerugian syariah bernama PT Asuransi Takaful Umum (ATU) pada 2 Juni 1995. Setelah Asuransi Takaful dibuka, berbagai perusahaan asuransi pun menyadari cukup besarnya potensi bisnis asuransi syariah di Indonesia.

Hal tersebut kemudian mendorong berbagai perusahaan ramai-ramai masuk bisnis asuransi syariah, di antaranya dilakukan dengan langsung mendirikan perusahaan asuransi syariah penuh maupun membuka divisi atau cabang asuransi syariah.

Stretegi pengembangan bisnis asuransi syariah melalui pendirian perusahaan dilakukan oleh Asuransi Syariah Mubarakah yang bergerak pada bisnis asuransi jiwa syariah. Sedangkan strategi pengembangan bisnis melalui pembukaan divisi atau cabang asuransi syariah dilakukan sebagian besar perusahaan asuransi, antara lain PT MAA Life Assurance, PT MAA General Assurance, PT Great Eastern Life Indonesia, PT Asuransi Tri Pakarta, PT AJB Bumiputera 1912, dan PT Asuransi Jiwa BRIngin Life Sejahtera.

Bahkan, sejumlah pemain asuransi besar dunia pun turut tertarik masuk dalam bisnis asuransi syariah di Indonesia. Mereka menilai Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia merupakan potensi pengembangan bisnis cukup besar yang tidak dapat diabaikan. Di antara perusahaan asuransi global yang masuk dalam bisnis asuransi syariah Indonesia adalah PT Asuransi Allianz Life Indonesia dan PT Prudential Life Assurance.
Perkembangan Asuransi Syariah 2008
Perkembangan asuransi syariah ibarat si gadis manis, diburu banyak orang dan menenangkan. Kini, nyaris semua perusahaan asuransi membentuk unit syariah. Bahkan asuransi asing juga ikut membuka unit syariah. Mereka tentu ingin mencicipi kue syariah di Indonesia.

Ketua Umum Asosiasi Syariah Indonesia Muhaimin Iqbal menyatakan hingga Januari 2008, di Indonesia sudah ada 3 perusahaan yang full asuransi syariah, 32 cabang asuransi syariah, dan 3 cabang reasuransi syariah. “Ini pertumbuhan premi industri bisa menembus Rp 1 trilun tahun ini. Rencana masuknya asuransi raksasa di pasar asuransi syariah diharapkan mendukung pencapaian target itu.

Ia mengatakan perolehan premi industri asuransi syariah tanah air diperkirakan kembali mengulang prestasi tahun lalu dengan tumbuh sebesar 60%-70%. pada 2006, industri asuransi syariah membukukan pertumbuhan premi sebesar 73% dengan nilai total Rp 475 miliar. "Hingga akhir 2007, saya rasa kami bisa mencapai Rp 700 miliar. Kalau tahun depan tumbuh 50% saja, sampai melebihi Rp 1 triliun," ucap Muhaimin.

Kendati asuransi syariah mengalami pertumbuhan yang pesat, jelas Muhaimin, kontribusi terhadap total industri baru mencapai 1,11% per 2006 dan diperkirakan meningkat ke posisi 1.33% tahun ini. Hal itu tidak terlepas dari jumlah pelaku industri asuransi syariah yang masih terbatas dan baru menunjukkan peningkatan dalam dua tahun terakhir.

Ia menuturkan, pada 2003, hanya ada 11 pemain dalam industri syariah. Jumlah itu meningkat menjadi 30 pemain pada 2006. Per juli 2007, terdapat 38 pemain asuransi syariah dengan rincian 2 perusahaan asuransi syariah, 1 asuransi umum, 12 asuransi jiwa syariah, 20 asuransi umum syariah, dan 3 asuransi syariah.

Sistem Transparan.
Sementara itu, Direktur Utama Insight Invesment Management ggi H Achsien menyatakan perkembangan pesat asuransi asuransi syariah di Indonesia memang masuk akal.” Disamping pangsa pasar yang besar, sistemnya juga transparandan membuat nyaman pemegang polis” jelas Iggi.

Menurutnya sistem asuransi syariah menjanjikan sistem yang lebih adir, transparan dan terhindar dari unsur perjudian.” Oleh karena itu orang merasa lebih aman dengan asuransi syariah,” cetusnya.

Calon Dewan Pengawas Syariah (DPS) dari salah satu perusahaan asurasi syariah itu meminta para pelaku asurasi syariah agar terus meningkatkan profesionalisme dalam mengembangkan pasar. “ Ini penting agar ada pergesran orientasi parsar dari pasar emosional menuju pasar rasionla.,” jelasnya.

Perkembangan asuransi syariah juga mencengangkan. PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK) misalnya. Disamping terus melakukan berbabagai inovasi produk, perusahaan asuransi syariah terbesar di Indonesia itu terus menggalang aliansi strategis dengan perusahaan sejenis.
ATK juga telah meluncurkan produk unit link Takafulink Alia yang merupakan produk proteksi dan investasi berbasi saham. ATK menargerkan pendapatan Rp 20 miliar – Rp 30 miliar di akhir 2007.

“Walaupun baru berjalan sebulan, pendaptan Takafulink Alia telah mencapai Rp 5 miliar. Oleh karena itu, target di atas dapat tercapai,” ungkap Presiden direktur PT Asuransi Takaful Keluarga disela-sela grand launching Produk Takafulink Alia di Jakarta.

Karena investasi Alia berupa saham. Agus menilai produk tersebut potensial bagi meresa yang agresif dalam berinvestasi. Divisi Syariah Asuransi Allianz Liafe Indenesia (AALI) juga tidak ketinggalan . Allianz Syariah Life membukukan gross written premium (GWP) sebesar Rp 31 miliar dan mjumlah polis sebanyak 3.702. unit hingga Agustus 2007. Direktur Syarila AALI Kiswati Soerkoyo mengatakanper Agustus 2007, GWP telah mencapai Rp 31,012 miliar dan jumlah polis meningkat menjadi 3.702 unit.

Hasil yang hampir sama juga dibukukan Divisi Syariah PT Asuransi Jiwa (AJ) Central Asia Raya (CAR) yang mulai dibentuk Mei 2007. Di Tahum pertama operasionalnya (2007) mereka berhasil melai premi sebesar Rr20 miliar. Tahun ini, menurut Direktur pemasaran PT AJ CAR Hero Samudra, Target perolehan premi naik 150% menjadi Rp50 miliar.

Sementara itu, Divisi Syariah AJB Bumi putera menargetkan pertumbuhan pendapatan premi sebesar 137% menjadi Rp237% miliar pada 2008. Untuk mencapai itu, divisi yang baru berusia tiga tahun itu akan menfokuskan pada ekspansi organik perusahaan.(Media Indonesia, Selasa, 29 Januari 2008)